Pedulibumi.com – Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo baru baru ini menulis puisi yang menyentuh banyak orang. Puisi berjudul “Antara Jakarta dan Marrakesh” ini menggambarkan tentang perbedaan kondisi yang bertolak belakang antara berbagai kejadian soal Pilkada Jakarta dengan Kongres Perubahan Iklim (COP 22) di Marrakesh, Maroko.
Berikut puisi “Antara Jakarta dan Marrakesh” karya Imam Prasodjo:
Di Jakarta
Tak henti orang bersahutan
Bertengkar saling menista
Sekedar berdebat soal Pilkada
Memperlebar luka
Melemahkan kesatuan bangsa
Di Marrakech, Maroko
Ribuan orang warga dunia
Berbincang berbagi kepedulian
Melihat dunia semakin renta
Bergerak pasti menuju kehancuran
Kini begitu nyata
Terlihat di depan mata
Aku ikut bersaksi
Bumi yang sengsara
Mencoba memenuhi kewajibannya
Berputar terengah
Menapaki jalur edarnya
Di tengah manusia mengumbar murka
Aku bertanya
Kapankah kita semua
Berdamai menjaga kelestarian
Mengembalikan harmoni
Dengan alam dan sesama kita.
Marraekech, 15 November 2016
Nampaknya Imam Prasodjo memberi pesan dan harapan dalam puisinya agar semua orang dapat berdamai dengan alam dan sesama.
Seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia sedang dipertontonkan oleh berbagai kejadian-kejadian perbedaan pendapat antar sesama umat beragama atau yang berlainan agama yang mengancam persatuan dan kebhinekaan.
Pada 4 november 2016 lalu ribuan orang dari berbagai ormas Islam turun ke jalan memenuhi jalan depan Istana Negara melakukan aksi bela Islam atas kasus penistaan agama hingga berujung keributan dan jatuh beberapa korban.
Sembilan hari kemudian tepatnya pada tanggal 13 november 2016, 4 orang menjadi korban peledakan bom di gereja Oikumene Samarinda.
Di sisi lain dan masih di bulan november pula Indonesia mengirim beberapa orang delegasi untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa ke 22 (COP22) di Marrakech guna membicarakan langkah langkah nyata untuk mengendalikan iklim global demi keberlangsungan alam.
Menariknya bahwa ada partisipasi yang luar biasa dari berbagai agama yang melakukan solidaritas untuk menghambat perubahan iklim dengan cara-cara yang juga luar biasa.
Seperti pada saat sesi diskusi interaktif Paviliun Indonesia pada COP 22, Marakesh, Maroko, yang mengangkat tema “Faith Communities on Climate Actions”, mereka menghadirkan pembicara dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu Prabowo, Peter Pavlovic dari Conference of European Churches, Sadaham Sevana Buddhist Monastery dari Sri Lanka Venerable Athuraliye Rathana, perwakilan Brahma Kumaris untuk PBB Sister Jayanti Kirpalani, perwakilan GreenFaith Ciara Shannon, dan dimoderatori oleh Nana Firman dari Global Muslim Climate Network.
Dalam diskusinya, komunikasi publik merupakan poin yang paling penting mengingat masih banyak masyarakat yang belum terinformasikan terkait isu penanganan perubahan iklim. Maka pendekatan moral dan keagamaan dari para tokoh agama dan kepercayaan perlu sampai ke masyarakat luas melalui gerakan sosial, dakwah-dakwah, pencerahan serta bentuk lainnya.
(Yul)